Mari sejenak kita perhatikan beberapa penggal episode di zaman terbaik dari umat ini...
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal,
“Hai si hitam.” Rasul pun
mendengar dan berkata,
“Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari
mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang
kecuali taqwa.” Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal,
“Aku telah
mengolokmu dan aku mengaku salah.” “Aku telah memaafkanmu,” kata Bilal.
“Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar
virus kesombongan dariku,” kata Abu Dzar.
“Aku telah mengampunimu,” kata
Bilal.
“Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki
di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang,” kata Abu Dzar.
Rasulullah shallallahu aliahi wasallam bersabda
“Tiada lurus iman
seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tiada lurus hatinya sehingga
lurus lidahnya“. (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “
mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim)
Begitupula pesan dari Sayyidina Umar ra,
“Jangan pernah tertipu oleh seruan seseorang. Tapi akuilah orang yang menyampaikan amanah dan tidak
menyakiti orang lain dengan tangan dan lidahnya“
“Orang yang tidak memiliki tiga perkara berikut, berarti imannya
belum bermanfaat. Tiga perkara tersebut adalah santun ketika
mengingatkan orang lain; wara yang menjauhkannya dari hal-hal yang haram; dan akhlak mulia dalam bermasyarkat (bergaul)“.
“Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap
pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas
sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa
dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Hati - hati dengan lisan ini wahai sahabat..
Sepertinya saya, dan kita semua perlu memeriksa kembali kulaitas dari apa yang keluar dari lisan kita. Karena ia yang menjadi cermin akhlak kita sebagai seorang muslim. Banyak sekali dari umat ini yang kata - katanya penuh dengan kalimat - kalimat nasehat, dalil Al Quran dan As sunnah yang ia lantunkan, yang keluar tidak lain adalah kebaikan dan seruan ke jalan kebaikan. Apakah hal tersebut menjamin bahwa lisannya selamat? Belum tentu wahai ikhwah... karena, selain apa yang kita katakan harus benar dan baik, cara (akhlak) penyampaian juga harus benar dan baik pula, agar tidak menimbulkan dosa karena menyakiti hati sang mad'u.
Nah, inilah yang sulit untuk dideteksi, karena standartnya adalah orang lain. Bisa jadi orang yang satu dengan orang yang lain berbeda. Cara kita berbicara dengan si A sudah pas, mungkin saja tidak pas jika cara yang sama kita lakukan kepada si B. Itulah kemudian Rasulullah memberikan kaidah indah dengan, "berbicaralah dengan bahasa kaumnya". Berbicara sesuai adat dan kebiasaannya. sesuai tingkat pemahamannya. sesuai usianya. Sesuai karakter psikologisnya. Sesuai tingkat ekonominya. Sesuai status sosialnya. Dan lain sebagainya.
Sebagian besar kita mencukupkan diri hanya dengan memastikan kata - kata yang kita keluarkan adalah baik dan merupakan seruan kebenaran saja. Kemudian kita berdalil,
"sampaikan kebenaran walaupun pahit". sesegera kita berdalil A, B, C sampai Z kepada masyarakat tentang apa yang mereka amalkan. A sesat, B
bid'ah dholalah, C Kafir, D Kufur, E sistem thoghut, F perbuatan setan, G amalan ahli neraka, F Jahannam tempatnya, bla bla bla.. Lihat apa yang terjadi? Mungkin kita tidak sampai 1 minggu sudah diharuskan angkat kaki dari lingkungan setempat oleh ketua RW dan warga yang resah. kenapa? Apakah yang kita sampaikan salah dan menyimpang? Bukan. Bukan itu!
Kami hanya masyarakat awam yang masih membutuhkan sentuhan dakwah kalian wahai para da'i...
Hmm.. Sebagian besar kami, masyarakat awam, pertama kali yang kami lihat adalah akhlak dan cara penyampaian, bukan isi dan substansi yang disampaikan. Itu mungkin yang menjadi salah satu rahasia sukses para wali di tanah jawa dalam menyebarkan ajaran islam. Mereka berdakwah dengan akhlak yang sangat mulia. Apa yang disampaikan itu nomor ke sekian bagi masyarakat. Bandingkan dengan beberapa oknum da'i jaman sekarang, lihatlah, belum juga kalian berbicara, kami masyarakat sudah antipati dan memunculkan sikap prefentif kami. Maka jangan salahkan kami masyarakat awam jika suatu saat kami lancang menolak dengan keras dan memunculkan perlawanan. Sekali lagi bukan karena apa yang kalian bawa, tapi lebih kepada bagaimana cara menyampaikan. Jujur, kami masyarakat merasa diserang, bukan diajak. Bukankah dakwah itu artinya mengajak? tapi kenapa terasa menyakitkan? Apa hati - hati kami yang awam ini memang sudah terlalu keras dan tidak bisa menerima lagi kebenaran? Atau....? Ah, sudahlah...
"Jangan tinggalkan sholat, neraka tempatnya!" atau "mari sholat, biar masuk syurga?" Lebih sejuk mana?
"Amalan ini bid'ah!" atau, "maukah kutunjukkan amalan yang lebih baik dan lebih dekat dengan syurga?" Lebih indah mana?
"Hei.. hati - hati dengan aurat yang terbuka. Siksanya amat pedih!" Atau, "Kalau berjilbab anda lebih terlihat cantik, ahli syurga insya Allah!" Enak mana didengar?
kalimat - kalimat di atas adalah contoh seruan yang benar, namun terdengar begitu sakit di hati jika tidak dengan cara yang baik dan tepat. Apalagi kalau yang kalian serukan berisi fitnah! Mohon maaf kami masyarakat awam sangat sering sekali mendengar dan membaca, apa yang para (oknum yang katanya) da'i serukan dibumbui dalil - dalil atau cerita yang sama sekali jauh dari kebenaran. Alias Fitnah! Apakah ada?
banyak brow.. namun tidak perlu kiranya kami tunjukkan satu persatu. Kami masyarakat awam hanya bisa menyeru dan memberi masukan (karena kecintaan kami) kepada kalian, sebuah ayat,
"janganlah kebencian kalian kepada salah satu golongan menjadikan kalian berlaku tidak adil!"..
tenang saja, kami tidak akan membalas fitnah dengan fitnah. Kami akan membalas kalian dengan senyuman, kami tidak akan mencoret nama kalian dari daftar nama saudara - saudara kami seiman, tapi maaf, pintu hati kami tertutup untuk apa yang kalian serukan, sampai Allah sendiri yang membukanya.
Aduhai, gemar sekali kalian mendebat kami di banyak sekali masalah - masalah yang kami masih awam di dalamnya. Mohon maaf sekali lagi, kami tidak pandai dan tidak suka berdebat. Kami lebih suka beramal atas apa yang kami ketahui dan kami yakini, dari pada memperdebatkannya tanpa ilmu. Jujur, kami takut dengan peringatan Rasulullah tentang manusia - manusia akhir zaman yang bacaan Al Qurannya tidak sampai melewati kerongkongan. Artinya apa? Ilmu agamanya hanya sampai di otak dan mulut
doang. Karena yang saya pahami, kalau ilmu hanya di otak, ia hanya akan keluar lewat mulut saja. OMDO!
Omong doang kata orang! Maka Ilmu harus turun sampai ke hati. Agar bersemai jadi laku. Katanya
sih begitu,
wallahu a'lam..
Ups, mudah - mudahan tulisan ini tidak menimbulkan rasa sakit hati, mohon maaf, saya hanya seorang awam yang masih membutuhkan dakwah dari kalian para da'i. Kami merindukan dakwah yang sejuk dan menentramkan. Bukan dakwah yang malah membingungkan. Apalagi menyakiti. Mohon maaf sekali lagi untuk para da'i jika ada yang tersinggung. uneg - uneg tadi bukan untuk kalian yang lembut dalam berdakwah. Yang santun dalam berucap. Yang sejuk dalam berujar. Dan yang dalam ilmunya dalam agama ini. Saya mencintai kalian, karena Allah juga mencintai kalian..
Wallahu a'lam bis showab..
(Abu Faza Al Hanif)
Like the Post? Do share with your Friends.