Haikal, balita imut umur tiga tahun, anak tetangga depan rumah saya, perilakunya sangat menggemaskan. Saya suka bercanda dengan Haikal setiap pagi, karena ia senang jalan-jalan ke depan rumah saya.
Saya : “Haikal, sudah makan apa belum?”
Haikal : “Belum”.
Saya : “Belum apa sudah?”
Haikal : “Sudah”.
Saya : “Tadi makan lauknya apa?”
Haikal : “Telur”.
Saya : “Telurnya berapa?”
Haikal : “Satu”
Saya : “Satu apa dua?”
Haikal : “Dua”.
Saya : “Dua apa tiga?”
Haikal : “Tiga”.
Saya : “Tiga apa empat?”
Haikal : “Empat”.
Saya selalu tertawa geli setiap mendengar cara bicara Haikal dan cara menjawab pertanyaan. Suatu pagi, saya mencandai Haikal.
Saya : “Haikal mau kemana?”
Haikal : “Pergi”.
Saya : “Pergi sama siapa?”
Haikal : “Ayah”.
Saya : “Ayah apa ibu?”
Haikal : “Ibu”.
Saya : “Ibu apa nenek?”
Haikal : “Nenek”.
Saya : “Nenek apa kakak?”
Haikal : “Kakak”.
Begitulah kelucuan Haikal, sebagaimana kelucuan anak-anak balita seusianya. Di rumah, Haikal tinggal bersama ayah, ibu, nenek dan seorang kakak laki-laki. Kakeknya sudah lama meninggal dunia.
Perhatikan cuplikan dialog saya dengan Haikal di atas. Ia selalu memilih jawaban dengan kata terakhir yang saya ucapkan. Rupanya, begitulah anak-anak berbicara dan mengambil pelajaran dari perkataan orang-orang di sekitarnya.
Fokus Pada Kata Terakhir
Anak-anak ternyata lebih fokus pada kata terakhir yang mereka dengar, dibandingkan dengan uraian kalimat panjang lebar yang disampaikan orang tua, betapapun penting maksud kalimat tersebut. Demikian penuturan John Kehoe dan Nancy Fischer dalam bukunya Mind Power for Children.
Perhatikan lagi contoh berikut. Seorang ibu berusaha menghentikan tangis anaknya dengan kata-kata, namun ternyata bukan membuat anaknya diam, justru semakin keras tangisnya. Apa yang dikatakan pada anaknya?
“Nak jangan nangis…”
“Aduh nak, jangan rewel…”
“Ibu sangat lelah nak. Tolong jangan ribut,,,”
Tiga kalimat di atas adalah contoh kalimat negatif. Pada kalimat “Jangan nangis”, kesan paling dalam yang didengar anak terletak pada kata terakhir, yaitu “nangis”. Demikian pula kata “Jangan rewel” dan “Jangan ribut”, maka kesan yang ditangkap anak lebih pada kata “rewel” dan “ribut”. Bukan pada kata larangan “jangan” yang dikehendaki sang ibu.
Maka semestinya, gunakan kalimat positif agar anak lebih fokus pada kata-kata positif yang diucapkan orang tuanya. Semestinya sang ibu mengatakan:
“Nak, ayo kita bergembira….”
“Saatnya bersenang-senang Nak….”
“Waw hari ini sangat indah dan kita semua akan berbahagia…”
Tiga kalimat di atas adalah contoh kalimat positif. Pada kalimat “Ayo kita bergembira”, maka kesan yang paling kuat didengar anak adalah “gembira”. Demikian pula pada dua contoh berikutnya, anak akan menangkap pesan “bersenang-senang” dan “berbahagia”.
Dari segi orang tua, ternyata mempergunakan kalimat positif akan mengarahkan pikiran kepada apa yang diinginkan orang tua tersebut. Sebaliknya, kalimat negatif telah mengarahkan pikiran pada apa yang tidak diinginkannya. Maka pada kalimat, “Nak, jangan nangis”, justru lebih mungkin dipersepsi untuk menangis, dan kalimat “Jangan lebay”, lebih mudah ditangkap untuk menjadi lebay.
Demikian pula pada kalimat “Kamu tidak boleh gagal Nak…” lebih mungkin dipersepsi pikiran menjadi “gagal lagi”. Namun dengan kalimat postif, “Kali ini kamu pasti berhasil Nak…” akan mudah ditangkap sebagai pesan untuk “berhasil”.
Biasakan Menggunakan Kalimat Positif
Hendaknya orang tua berbicara dengan anak selalu menggunakan kalimat positif, karena dampaknya akan positif bagi orang tua dan juga bagi anak tersebut. Jika terbiasa menggunakan kalimat negatif, akan berdampak negatif pula bagi orang tua dan anaknya. Ini memerlukan latihan dan pembiasaan, mengingat kalimat negatif lebih mudah diucapkan spontan dibandingkan dengan kalimat positif.
Mengapa bisa dikatakan lebih mudah mengucapkan kalimat negatif secara spontan? Karena kalimat ini merupakan respon sesaat atas kondisi yang dilihat dari anak, yang tidak dikehendaki orang tuanya. Misalnya, orang tua melihat anaknya yang masih kecil merokok. Betapa terkejut orang tua menyaksikan hal itu. Spontan, ayah atau ibu akan mengatakan, “Hai, jangan merokok”. Ini kalimat yang muncul secara spontan.
Saat akan mengubah menjadi kalimat positif, memerlukan pemikiran dan pembiasaan, untuk merangkai dan menyusun kalimatnya. Bagaimana mengbah kalimat “Jangan merokok” menjadi kalimat positif? Jika harus menggunakan campuran kalimat negatif dan positif untuk penguatan, namun tetap dengan penekanan kalimat positif di bagian akhir.
“Nak, merokok itu tidak baik untuk kesehatan. Mari kita melakukan gaya hidup yang sehat di rumah kita”.
Nah, dengan penjelasan ini anda mengetahui, bagaimana berbicara kepada anak anda ketika anda melihat ia melakukan perbuatan yang nakal. Pilihan kalimat anda akan sangat menentukan hasilnya, dan akan membuat kondisi yang sangat berbeda.
“Nak, jangan nakal ya!”
“Nak, jadi anak salih ya…”
Anda mengetahui mana yang lebih patut disampaikan kepada anak-anak dari kedua kalimat di atas. Anda juga mengetahui apa dampak mengucapkan kalimat “Jangan nakal” dan kalimat “Jadilah anak salih”.
Selamat pagi sahabat semua, selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.
sumber: Ust. Cahyadi/Kompasiana
Like the Post? Do share with your Friends.