Tidak diragukan lagi jika para pendahulu kita yang shalih (Salafuna Shalih)
adalah generasi yang memang pantas untuk diikuti dan diteladani. Mereka
adalah generasi yang masih dekat dengan masa Rasulullah SAW dimana
ajaran Islam masih murni. Bahkan tiga masa mendapatkan pujian khusus
dari Rasulullah SAW.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah masaku, kemudian masa setelah mereka, kemudian masa setelah mereka”. (Muttafaq ‘Alaih)
Ya,
tiga zaman itu adalah zaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Kemudian masa-masa seesudah ketiga masa emas itu akan menjadikan tiga
masa ini sebagai acuan dalam mempelajari agama Islam.
Fenomena Penuntut Ilmu Zaman Sekarang
Semakin
air mengalir menjauhi sumber aslinya, maka air itu akan semakin keruh.
Demikian juga dengan ajaran Islam. Semakin jauh sebuah masa dengan masa
Rasulullah SAW maka semakin jauh masa tersebut dengan kemurnian ajaran
Islam.
Untuk mendapatkan ajaran islam yang murni, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengikuti para Salafus Shalih kita.
Itulah yang coba untuk dilakukan oleh para penuntut ilmu di zaman
sekarang. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti dan menempuh
jalan para Salafus Salih.
Namun
masing-masing kelompok saling mengklaim bahwa kelompoknya adalah yang
paling mengikuti ulama salaf. Tidak cukup sebatas klaim, bahkan
terkadang ada yang menjadikan kata ‘salaf’ sebagai nama kelompoknya.
Namun benarkah klaim tersebut?
Fenomena
yang sering terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya penuntut ilmu yang
baru mulai belajar ilmu tapi gayanya sudah seperti ahli ilmu. Karena
merasa dirinya sebagai ahli ilmu, maka dia mensejajarkan dirinya satu
level dengan ahli ilmu atau bahkan lebih tinggi dari ahli ilmu. Tidak
heran jika dia mulai mengkritik dan menyalahkan pendapat-pendapat para
ulama ahli ilmu. Tidak sekedar mengkritik, bahkan terkadang dia
membid’ahkan pendapat para ahli ilmu yang tidak sama dengan pendapatnya.
Sungguh sikap meremehkan dan tidak menghormati ulama ahli ilmu adalah
musibah besar. Ada istilah populer di kalangan para ulama dan para
penuntut ilmu.
إِنَّ لُحُوْمَ الْعُلَمَاء مَسْمُوْمَةٌ
“Sesungguhnya dagingnya para ulama itu beracun”
Sudah
selayaknya sikap yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu adalah
menghormati para ulama. Bukan malah meremehkan dan menjelek-jelekkan
para ulama. Disamping hal tersebut akan menghilangkan keberkahan
ilmunya, bahkan hal tersebut bisa menimbulkan bencana, atau istilah para
santri adalah mendatangkan ‘kualat’.
Karena
sudah hilang penghormatannya terhadap para ulama, biasanya model
penuntut ilmu seperti ini sangat suka jika ada ulama yang berselisih
pendapat dengan ulama lainnya. Bukannya mencari titik temu, biasanya
mereka malah membenturkan pendapat ulama yang satu dengan ulama lainnya.
Jelas mereka akan mendukung pendapat ulama dari kelompoknya dan
menjelek-jelekkan ulama dari kelompok lainnya. Bahkan yang sangat
keterlaluan, mereka biasanya memberikan gelar-gelar yang tidak pantas
pada ulama yang menyelisihi kelompoknya.
Beginilah Ulama Salaf Menuntut Ilmu
Muwaffaq
al-Makki meriwayatkan sebuah riwayat dari Abdullah ibn al-Mubarak, dia
berkata: Saya pergi ke Syam untuk mendatangi Imam al-Auza’i dan saya
mendapatinya berada di kota Beirut. Dia berkata: Wahai orang Khurasan,
siapakah ahli bid’ah yang ada di kota Kufah yang dikenal sebagai Abu
Hanifah?
Kira-kira
apa yang akan dilakukan oleh Abdullah ibn al-Mubarak ketika Imam
al-Auza’i menyebut Imam Abu Hanifah sebagai ahli bid’ah? Apakah dia akan
menggunakan perkataan Imam al-Auza’i itu untuk meremehkan dan
menjelek-jelekkan Imam Abu Hanifah? Tidak. Bukan itu yang beliau
lakukan.
Beliau
lantas pulang kemudian membuka kiitab-kitab Imam Abu Hanifah. Beliau
pilih beberapa permasalahan dari kitab-kitab itu. Tiga hari beliau
melakukan itu. Setelah tiga hari beliau mendatangi Imam al-Auza’i dengan
membawa kitab Imam Abu Hanifah.
Imam
al-Auza’i membaca kitab tersebut kemudian bertanya kepada Abdullah ibn
al-Mubarak: Wahai orang Khurasan, Siapakah an-Nu’man ibn Tsabit? Beliau
menjawab: Dia adalah seorang syaikh yang saya temui di Iraq. Imam
al-Auza’i berkata: Dia adalah salah seorang syaikh yang mulia, pergilah
dan belajarlah banyak kamu darinya! Abdullah ibn al-Mubarak berkata: Dia
adalah Imam Abu Hanifah yang engkau melarangku belajar kepadanya.
Ibnu
Hatim al-Jurjani juga meriwayatkan hal yang sama dari Abdullah ibn
al-Mubarak dengan tambahan di akhir riwayatnya bahwa imam Abu Hanifah
bertemu dengan Imam al-Auza’i di lota Makkah, kemudian keduanya
mengadakan pertemuan.
Abdullah
ibn al-Mubarak menuturkan: Maka saya melihatnya berdiskusi dengan Imam
Abu Hanifah tentang beberapa permasalahan yang sudah saya tulis di
sebuah kertas. Dan saya juga melihat Imam Abu Hanifah menjawab
permasalahan-permasalahan itu lebih banyak dari apa yang sudah saya
tulis.
Ketika
keduanya berpisah, saya menghampiri Imam al-Auza’i kemudian dia
mengatakan: Saya kagum terhadap banyaknya ilmu orang ini dan kekuatan
akalnya. Saya juga meminta ampun kepada Allah karena saya telah salah,
ikutilah orang itu karena kabar yang sampai kepadaku tidak seperti yang
sebenarnya.
Itulah
akhlak para ulama salaf dalam menuntut ilmu. Mereka tidak suka untuk
mengadu sesama ulama. Bahkan mereka berusaha mencari titik temu untuk
meluruskan berita tentang seorang ulama dan mendamaikan di antara
keduanya. Adakah akhlak para penuntut ilmu yang katanya mengikuti salaf
seperti itu?
Kesalahan Urutan dalam Menuntut Ilmu
Kebanyakan
para penuntut ilmu hanya fokus mempelajari ilmu tapi tidak belajar
bagaimana adab menuntut ilmu dan akhlak sebagai seorang penuntut ilmu.
Bahkan terkadang oleh sebagian ustadznya memang tidak diajarkan adab dan
akhlak sebagai penuntut ilmu, tetapi malah langsung diajari perbedaan
pendapat yang ujung-ujungnya memenangkan kelompoknya sendiri dan
menjelek-jelekkan kelompok lainnya. Itulah beda penuntut ilmu di
kalangan ulama salaf dengan penuntut ilmu yang ‘sok salaf’.
Memang
seharusnya adab menuntut ilmu itu harus dikuasai dulu oleh para
penuntut ilmu. Berikut saya kutipkan bagaimana proses belajar para ulama
salaf. Beginilah ibu Imam Malik menyiapkan anaknya untuk menjadi
seorang ulama besar. Imam Malik menuturkan: Dahulu ibuku menyiapkan imamahku ketika aku masih kecil sebelum aku pergi ke halaqoh-halaqoh ilmu. Maka ibuku mengatakan:
يَا مَالِك، خُذْ مِنْ شَيْخِكَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ
“Wahai Malik, ambillah dari syaikhmu adabnya sebelum ilmunya!”
Memang
seharusnya waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari adab sebagai
penuntut ilmu lebih panjang dari waktu untuk menuntut ilmu. Beginilah
Abdullah ibn al-Mubarak menuturkan pengalamannya yang dinukil dalam
kitab Ghayatun Nihayah Fii Thabaqatil Qurra’.
طَلَبْتُ
الْأَدَبَ ثَلَاثِيْنَ سَنَةً، وَطَلَبْتُ الْعِلْمَ عِشْرِيْنَ سَنَةً،
وَكَانُوْا يَطْلُبُوْنَ الْأَدَبَ قَبْلَ الْعِلْمِ
“Saya
mempelajari adab selama tiga puluh tahun, dan saya mempelajari ilmu
selama dua puluh tahun, mereka (para ulama salaf) mempelajari adab
sebelum mempelajari ilmu.
Seperti
itulah para ulama dalam menuntut ilmu. Mereka mempelajari adab menuntut
ilmu sebelum mempelajari ilmu, karena mempelajari ilmu sebelum adab
sebagai penuntut ilmu akan mendorong seseorang untuk bersikap angkuh dan
sombong. Sungguh sikap seperti itu bukanlah sikap seorang ahli ilmu.
Wallahu A’lam Bish Showab