Salah satu keistimewaan tradisi keilmuan
Islam adalah sistem mata rantai periwayatan yang biasa disebut ‘Isnad’.
Karena sistem inilah, konsep-konsep pokok dalam berbagai disiplin ilmu
itu senantiasa terjaga keaslianya. Tradisi ini telah ada pada zaman
sahabat, namun mulai menggema pada masa kodifikasi keilmuwan (`
ashr at-tadwin).
Untuk itu, para ulama dari berbagai cabang keilmuwan seperti Hadits,
Fiqh, Qira’at, bahkan Tasawwuf berusaha untuk menguatkan keilmuanya
dengan dengan menampilkan sanadnya.
Urgensi Isnad
Tidak ada yang mengingkari, bahwa Isnad
merupakan sisi penting dalam agama Islam, karena dengan sistem ini
seseorang tidak semena-mena mengeluarkan statemen yang berhubungan
dengan agama. Sebagaimana penjelasan Ibn Mubarak yang dikutip Imam
Muslim dalam muqaddimah shahihnya, ‘Isnad adalah bagian dari agama,
seandainya tanpa Isnad seseorang bisa berkata sekehendak hati’. (Muslim,
Shahih Muslim, 1/87)
Sufyan ats-Sauri membuat perumpamaan
posisi isnad di tangan umat Islam. ‘Isnad adalah senjata orang mukmin,
tanpa senjata tidak bisa berperang’ ( as-Sakhawi: Syarh Alfiah as-Suyuthi,335).
Jika seseorang mempunyai mata rantai periwayatan, maka dia bisa dengan
leluasa mengeluarkan statement karena bisa dipertanggung jawabkan
kebenaranya. Pun bagi yang tidak setuju, maka akan sulit
membantahkannya.
Menurut penelitian sebagian besar pakar
sejarah Islam, Islam adalah sebuah peradaban menaruh perhatian sanagat
besar terhadap warisan para Nabinya. Keistimewaan ini tidak dijumpai
oleh peradaban-peradaban sebelumnya, bahkan semenjak manusia itu lahir
ke dunia. (Al-Qasthalany, Syarh Mawahib al-Ladduniyah, 5/454). Bisa jadi, keistimewaan ini juga tidak akan pernah dimiliki peradaban-peradaban lain yang akan terus silih berganti.
Secara hukum fiqh, Ali al-Qari memandang bahwa ber-Isnad dalam adalah sunnah yang sangat dianjurkan (sunnah muakkadah),
bahkan tergolong Fardlu kifayah. Katanya “asal isnad adalah
keistimewaan dan keutamaan ummat ini. Juga sunnah yang begitu tinggi
dari bagian sunnah muakkad, bahkan bisa dimasukkan sebagai fardlu
kifayah, maka mencari jalur sanad adalah suatu yang perlu diperhatikan
dan diharapkan”. (Ali Al-Qari, Syarh Nukhbat al-Fikr, 194)
Tradisi Hadits
Isnad dalam tradisi Ilmu Mushtalah
hadits adalah wajib. Pernyataan ini sudah tidak perlu dipertanyakan
lagi, karena istilah ‘sanad’ memang lahir dari rahim disiplin ilmu ini.
Bagi Imam Syafi`i, “pencari hadits tanpa isnad bagaikan pencari kayu
bakar di malam hari”. (az-Zurqani, Syarh Mawahib al-Ladduniyyah, 5/453).
Artinya, dia akan sulit menemukanya.
Untuk itu, gelar ‘muhaddits ‘tidak
gampang diberikan kepada siapapun kecuali apabila memenuhi kriterianya.
Imam Tajuddin As Subki memberikan kriterianya, dalam Mu`id An Ni’am, harus mengetahui ‘asanid’ dan kesamaran cacatnya, nama-nama perawi, (sanad) al ali dan an nazil, hafal banyak matan, mendengarkan Kutub As Sittah, Musnad Ahmad, Sunan Al Baihaqi, Mu’jam At Thabarani,
dan digabungkan dengannya seribu juz dari kitab-kitab hadits. Inipun
masih adalah derajat terendah. Sungguh aneh, jika ada mendapat gelar
muhaddits namun tidak memenuhi syarat ini, bahkan hanya dengan otodidak.
Namun, bagaimana dengan beberapa cabang
disiplin ilmu yang lain ?.Bagi Imam al-Kunawi al-Hindi, segala persoalan
yang disandarkan ke dalam agama harus menggunakan sisitem Isnad.
Termasuk diantaranya hal-hal yang berkenaan sejarah Nabi, hukum-hukum
syarak, kisah-kisah dan cerita teladan, ataupun sejarah secara umum.
Bahkan, jika tidak ditopang dengan sistem isnad, pendapat-pendapat itu
tidak bisa dijadikan pijakan. Lebih-lebih setelah hilangnya kurun waktu
terbaik dalam Islam (al-Kunawi, al-Ajwibah al-Fadlilah, 28).
Tradisi Sejarah dan Fiqh
Melihat pentingnya sistem ini, isnad
tidak lagi monopoli ilmu ushul hadits melainkan ilmu yang lain salah
satunya dalam penulisan sejarah. Para pakar sejarah banyak mengambil
metode kitab hadits dalam penulisan mereka. Artinya, kisah-kisah yang
dituturkan berdasarkan informasi baik lisan atau tulisan menggunakan
menggunakan sanad selayaknya kitab hadits. Perbedaanya adalah,
penelitian sanadnya tidak seketat dalam kitab-kitab hadits. Sebagaimana
pendapat yang sudah masyhur di kalangan mayoritas muhadditsin, bahwa
diperbolehkan tidak terlalu ketat menyeleksi sanad untuk urusan sejarah.
Asalkan bukan riwayat paslu.
Dalam disiplin ilmu fiqh juga demikian.
Para mujtahid fiqh empat madzhab mempunyai jalur sendiri dalam
menguatkan keilmuan mereka. Abu Jakfar sempat bertanya kepada Abu
Hanifah secara langsung perihal sanad keilmuwanya. Entah, hanya ragu
atau sekedar basa-basi saja. Dengan tegas beliau menjawab “dari Hammad,
dari Ibrahim An Nakhai’i, dari Umar bin Al Khaththab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas. (Zahid al-Kautasry, Husn at-Taqadly fi Sirah Abi Yusuf al-Qadly,11)
Dalam musthlah al-Hadits, istilah sanad emas (as silsilah adz dzhabaiyah)
sudah diketahui secara luas. Diantaranya adalah sanad jalur Malik, dari
Nafi, dari Ibn Umar. Maka, bila juga dilacak Imam Syafi`i sebagai murid
dari Imam malik, dan beliau adalah guru Imam Ahmad Bin Hambal Maka
sebenarnya, sanad ilmu fiqh mereka bukan lagi sanad emas, melainkan
berlian.
Sudah jamak, bahwa Imam Syafi`i adalah
mujtahid mutlak yang menggali hukum secara langsung dari sumber aslinya,
termasuk dalam hal ini adalah gerakan shalat beserta penetapan rukun
dan syarat. Secara umum, shalat yang benar adalah seperti kata Nabi
‘shalatlah sebagaimana kalian lihat aku shalat’. Maka, banyak hadits
yang menyebutkan ‘kaifiyyah’ shalat tersebut, namun tetap saja ada
perbedaan dari beberpa madzhab.
Nampaknya, keistimewaan imam ahli hadits
ini bukan saja terletak pada pengambila hukumnya, melainakan adalah
beliau memili sanad khusus shalat. Yaitu dari Muslim bin Khalid, dari
Ibnu Juraij, dari Atha’, dari Ibnu Az Zubair, dari Abu Bakr Ash Shiddiq,
dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam. Untuk itu, bagi Ibrahim Bin
Muhammad, tidak ada gerakah shalat yang paling baik kecuali Imam
Syafi`i. (ad-Dzhaby, Siyar A’lam An Nubala’, 10/90).
Ilmu Qur`an; Qira`at
Selain ilmu fiqh, ilmu Qira`at juga
menempatkan sanad di posisi paling urgen. Al-Qur`an memang sudah
terkumpul dalam Mushaf Utsmani yang bisa dibaca dengan bebarapa macam
Qira`at. Namun, kitab ini bukan saja terjaga dengan teks saja melainkan
dengan tradisi lisan, maka sistem talaqqy (face to face) adalah
wajib dalam belajar ilmu Qira`at. Hal ini berkaitan berkaitan dengan
pelafalan makhraj dan ketepatan pelafalan sifat huruf.
Untuk itu, para Imam Qira`at berusaha
mencari cara membaca itu dengan melakukan perjalanan sebagaimana para
Muhadditsin. Dari banyaknya riwayat yang ditemukan, ada yang shahih,
dlaif, hasan, mursal, dan maudlui. Untuk itulah seorang ulama senior
bidang ini seperti al-Jazary menyeleksinya, membuang dan menetapkan
riwayat yang mutawatir.
Kata Ibn al-Jazary, “ saya tidak
meninggalkan satu huruf dari mereka yang tsiqat kecuali menyebutkanya,
yang benar saya tetapkan, yang tidak jelas saya jelaskan, yang jauh saya
dekatkan, yang tercecer saya tertibkan. Karena untuk mengingatkan yang
shahih dari yang syadz, yang hanya sendirian, berpegang teguh
untuk mengurai yang kusut, menshahihkan, mendlaifkan,
men-tarjih,mendatangkan muataba`at dan syawahid….semuanya terkumpul dari
pelataranbarat dan timur ( Ibn Al-Jazary, an-Nasr, 1/56)
Tradisi tasawwuf
Dalam bidang tasawwuf, mereka juga menguatkan dzikir, wirid dan aktifitas tasawwuf yang biasa disebut dengan sanad ‘khirqah’. Tradisi ini sedikit berbeda dengan disiplin yang lain, dimana seorang guru memakaian ‘khirqah’ (selendang) kepada murid untuk mengikat hubungan (shuhbah)
batin keduanya. As-Suhrawardi menjelaskan, hal ini sebagai bentuk
seremonial bahwa guru akan membimbing murid, dan seorang murid
memasrahkan perjalanan suluknya kepada guru pembimbing.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, sanad dalam bidang ini terbagi menjadi dua; khirqah iradah (shuhbah) dan khirqah tabarruk (tasyabbuh).
Yang pertama, diperuntukkan untuk murid resmi yang telah ber-shuhbah
dengan guru. Adapun yang kedua hanya mengikuti konsep-konsep suluk sang
guru saja, tanpa bergaul secara langsung dan memasrahkan
diri.(Suhrawardi, Awarif al-Ma`arif,1/251,255)
Sebagai contoh, Thariqah Syadzliyyah mempunyai dua sanad ini dan dengan jalan yang berbeda. Sanad ‘khirqah iradah’
berujung kepada Hasan al-Basri dari Ali Bin Abi Thalib. Sanad Khirqah
tabarruk berujung kepada Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib. (Nuh Hamim, Aurad Thariqah Syadziliyyah, 6-8).
Beberapa kalangan Muhadditsin ada yang
mengingkari sanad dalam tasawwuf karena Hasan al-Bashri tidak pernah
berjumpa dengan Ali Bin Abi Thalib. Namun, al-Hafidz Jalaluddin
as-Suyuthi telah menjawabnya secara detail dalam Fatawi-nya bahwa mereka berdua bertemu, sehingga sanad dalam tasawwuf juga benar bila ditakar dengan ilmu musthalah hadits.
Beliau mengatakan“sekelompok Huffadz
mengingkari bahwa Hasan al-Bashri mendengar dari Ali Bin Abi Thalib,
begitu juga beberapa kalanga mutaakhhirin, sehinga mereka menolak
khirqah. Tetapi, beberapa yang lain menetapkanya. Pendapat yang kedua
inilah yang kuat menurut pendapat saya, juga dikuatkan oleh al-Hafidz
al-Maqdisi dalam al-Mukhtar, kemudian diikuti oleh Ibn Hajar al-Atsqalani dalam Athraf al-Mukhtarah” . Lalu beliau menjelaska buktinya secara panjang lebar. (as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, 2/102-103)
sumber: inpasonline
Like the Post? Do share with your Friends.