6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh
Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah
ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah adalah
saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan
dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak medapatkan
hak-hak persaudaraan dalam islam
. Seharusnya kita lebih
mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan
menyebarkan islam hanya saja mereka berbeda dalam
memahami metode dakwah dan beberapa pemahaman islam. Contohnya:
–
Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman aktivis dakwah dari harokah lain, maka mukanya menjadi sangar,
cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau
duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan
islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan
hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut
mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika
saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling
gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”
Allah
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan
bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
– Di kampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/
tokoh masyarahat berbeda organisasi dakwah. Maka
ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka,
menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak
menghormati mereka
. Padahal belum tentu kita lebih baik dari
mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas,
mengalahkan amal kita yang banyak (sekiranya benar insya Allah) tapi tidak
ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya
kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati
mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan
menggurui. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”
Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian
ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan
merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu
kaidah pembid’ahan dan pengkafiran.
Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy,
jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan
sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia
menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan
jangan merendahkannya.(HR. Muslim no. 2564)
Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah
‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah
taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.
Lihatlah tauladan kita Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada
mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu
Thalib. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha, pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam
memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau
ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat
tersebut berkata,
“Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”
Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa,
“Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi
mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya
dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]
Subhanallah, kita sangat jauh dari cara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah.
Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk Thoif tidak lama menjadi
salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.
Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah.
Mungkin
ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan
terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana.
Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya.
Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip
“Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat
sendiri bermunajat kepada
rabb-nya”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun
engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR. Muslim no. 2626)
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu
Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk
membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus
mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan
terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut.
Tema
yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian
adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu,
menerapkan hajr/memboikot di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, dakwah, fiqh keseharian dan bahasa arab.
Seharusnya ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih
memprioritaskan pembicaraan tentang akidah. Itulah seruan
pertama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,
“
Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka
hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah
syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka
mentauhidkan Allah”. (Muttafaqun ‘alaih)
Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu.
Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran.
Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama.
Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui
kelompok sesat, syaikh fulan sudah di
tahzir/diperingati oleh syaikh fulan.
Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudah tabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.
Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi
dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:
“
Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)
Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah,
belum tentu kita
lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi
sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai
sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal
banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.
‘Abdullah Al Muzani
rahimahullah berkata,
“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia
dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih
tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.” (Hilyatul Awliya’ 2/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah)
*diambil dari artikel di
muslim.or.id dengan sedikit penyesuain.*
Like the Post? Do share with your Friends.