Kami sempat melakukanya di awal-awal kami mengenal dakwah karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami ingin
membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan
mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar
pengalaman kami:
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar dan mendakwahkannya
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.
4. Keras dan kaku dalam berdakwah.
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.
6. Menganggap orang di luar harokah/organisasi sebagai saingan bahkan musuh.
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/ tokoh agama tertentu.
Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.
1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah, bisa jadi ada rasa
bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah
selamat dunia-akherat.
Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar di atasnya.
Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa
dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“
Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)
2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain
Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena
banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka
dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah. Akan
tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya.
Contoh kasus:
– Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang
tuanya untuk belajar di kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa
gelar dan membahagiakan keduanya.
Kedua orang tua bersusah payah
membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan
lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur
dan terancam Drop Out. Tentu saja orang
tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah yang ia
anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang
tuanya.
– Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar
tholabul ilmi
ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal.
Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian
kepada istri dan anak-anaknya.
Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:
“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
Al-An’am: 141).
Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan
kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi
nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini
hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja
setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].
3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah
Allah
Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185)
Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih
sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga
nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh
kasus:
–
Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa
menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua
keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti disangka teroris dan
lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah
menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih
belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan
silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus.
Dalam kasus ini:
Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:
“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika
ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah,
jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya
ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak
mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan
dari hukum sunnah.
– Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah
ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan]
, maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya.
Akan tetapi di tempatnya
tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia
baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis
ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:
” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “
Dan banyak kasus yang lain.
Intinya kita harus banyak-banyak
berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu
dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 159)
4. Keras dan kaku dalam berdakwah
Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan
dakwah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang
tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:
– Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang
langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini
haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata,
“Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani
ceramahi saya?”.
– Seorang ikhwan yang baru tahu hukum sesuatu amalan tertentu adalah bid’ah. Kemudian ia datang kekumpulan orang yang
melakukannya.. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa
ini bid’ah. maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.
– Seorang
akhwat yang ingin mendakwahkan temannya
yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema
tentang Jilbab, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan
firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini
sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.
Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan
berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
“
Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)
5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar
Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu.
Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam
kebiasaan suka berdebat.
Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.
Memang ada yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode
istidlal (cara
pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek
dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.
Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya
tinggi, banyak menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan
kaidah-kaidahnya.
Memang bisa jadi saat itu kita menang dalam berdebat. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak
sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena
kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata
yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan,
akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR. Muslim 55/95)
Yang dimaksud dengan nasehat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan
tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.
Mengenai suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman
‘alaihis salam berkata kepada anaknya,
“Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat
karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia
membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (
Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)
Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan
seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan
firman Allah
Ta’ala,
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
(QS. At-Thoha: 43-44). Kepada orang selevel Fir’aun saja harus
berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan
mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut
dan bijaksana lagi penuh hikmah.
Bersambung Ke Bagian ke
DUA
*diambil dari muslim.or.id dengan beberapa penyesuaian*
Like the Post? Do share with your Friends.