Di postingan yang lalu, Penulis memulai blog ini dengan judul Yang dibutuhkan Indonesia Adalah: Sepenggal Cinta! Untuk itu, postingan yang kedua ini, merupakan kelanjutan dari postingan yang pertama dan judulnya pun dibuat agak serem.. hehe.. Darurat Kepedulian! Separah itukah Indonesia! Jawabannya, Ya!
Berbagai macam kasus dan fenomena yang sering kita saksikan di televisi, yang membuat hati kita menjadi gelisah galau merana (ciee..agak lebay dikit), pada dasarnya karena memudarnya rasa kepedulian. Kasus korupsi misalnya, hal itu terjadi karena hilangnya rasa peduli sang pelaku pada rakyat dan negeri tercinta. Rasa kepeduliannya hanya sampai pada diri dan keluarganya. hanya peduli pada diri dan keluarganya! Coba perhatikan! (Mario Teguh mode on). Maka, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah gerakan membangun kepedulian. Dan itu dimulai dari membangun kesadaran. (Superr sekali).
Ya! Kesadaran. Kesadaran apa? Kesadaran akan tugas dan fungsi kita sebagai manusia sebagai kholifah di muka bumi. Kesadaran bahwa kita tidak diciptakan untuk bisa hidup sendiri. Kesadaran bahwa masih banyak orang disekitar kita yang membutuhkan pertolongan. Kesadaran akan dampak yang kita timbulkan jika kita berbuat yang menyimpang.
Bisa kah kita membuat diri atau orang lain untuk sadar? hmm.. pangkal dari kesadaran adalah ilmu dan hidayah. Maka tugas kita hanya mencari ilmu dan menyampaikan ilmu, selanjutnya biarkan 'tangan langit' bekerja menyampaikan hidayah. Kita bantu dengan doa!
Seketika setelah kesadaran itu mucul, segera bangkitkan gairah kepedulian kepada sesama. Ini juga tidak bisa dipaksa, karena sumbernya muncul begitu saja dari mata hati yang terbuka oleh kesadaran. Tapi bukan berarti tidak bisa dilatih dan ditumbuhkan. Bisa! Bisa sekali! Empati, begitu orang bilang, bisa dilatih dan ditumbuhkan setiap saat. Ok, penulis akan membagikan sedikit tips untuk menumbuhkan rasa peduli dan empati kepada sesama, silakan simak! jangan lupa atur posisi duduk yang nyaman, atur pencahayaan yang pas, konsentrasi,.. OK, sudah siap?
Sebelumnya maaf, tips dibawah ini bukan hasil dari pemikiran pribadi, hanya copas dari referensi internet, maklum, penulis juga masih belajar..hehe..sumbernya dari psikologi-untar.blogspot.com
Pertama, kenali perasaan sendiri.
Prosesnya adalah dengan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.
Kedua, sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi.
Ini sebenarnya termasuk proses pengenalan dan pengendalian emosi. Karena biasanya orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami isteri umumnya merasa lebih empati satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat malam dan sebagainya. Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.
Ketiga, cobalah memandang masalah dari sudut pandang orang lain.
Empati adalah ketika kita dapat merasakan, apa yang orang lain rasakan dan juga dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka. Masukilah dunia mereka dan cobalah memandang masalah dari sisi tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak saja hanya merasa dimengerti tapi ia merasa lebih disukai.
Keempat, jadilah pendengar yang baik.
Kita lebih mudah merasa empati, memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri dalam keadaan orang lain, kalau kita dapat mendengar apa yang dialami orang tersebut. Tidak hanya kemampuan mendengarkan secara seksama, tapi juga membaca isyarat-isyarat non verbal. Sebab, seringkali bahasa tubuh dan tekanan suara lebih efektif menggambarkan perasaan ketimbang kata-kata. Orang tua misalnya, harus mampu meningkatkan kemampuan "mendengarkan" suara hati anak-anaknya. Anak-anak pun harus belajar "mendengarkan" lingkungannya, agar ia bisa terampil dalam kehidupan sosial. Anjuran mendengarkan berarti mengajak kita membuka pintu komunikasi dengan berbagai obyek. Informasi yang diterima dari banyaknya komunikasi itulah yang akan menjadikan kita bisa memahami dan mengerti.
Kelima, biasakan menghayati fenomena berbagai hal yang kita jumpai.
Misalnya, saat kita melihat seorang tunanetra di tengah keramaian, nyatakan dalam hati betapa sulitnya orang itu memenuhi kebutuhannya. Langkah ini biasanya berlanjut dengan kesanggupan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Ketika mendapati anak-anak yang mengamen di jalanan hingga larut malam, misalnya. Katakanlah pada diri sendiri, bagaimana jika mereka itu adalah anak-anak kita. Jika menyaksikan himpitan rumah gubuk di pinggiran rel kereta, bayangkanlah bila keadaan itu dialami oleh keluarga kita. Dan seterusnya.
Keenam, berlatih mengatur dan mengatasi gejolak emosi dalam menghadapi reaksi positif maupun negatif. Di sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu.
Ketujuh, latihan berkorban untuk kepentingan orang lain.
Sebuah studi di Harvard University, Amerika Serikat, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara besarnya tanggung jawab seorang anak, dengan kecenderungan bersedia mementingkan orang lain. Empati sangat berhubungan dengan kesediaan berbuat baik (altruisme). Empati yang tinggi memperbesar kesediaan untuk menolong, untuk berbagi dan berkorban demi kesejahteraan orang lain. Kesanggupan untuk berempati sendiri adalah kesanggupan yang ada pada tiap orang.
loh, kok malah bahas psikologi gini? tapi tak apalah, memang membangun Indonesia itu memang sederhana dengan segala kerumitannya..
nah loh, bingungkan?
Salam cinta untuk semuanya!
Like the Post? Do share with your Friends.