1. Penyempitan Pengertian Dalil
“Haditsnya kan shahih, ya sudah ikut saja, ustadz”.
Pernyataan diatas bisa benar bisa salah. Benar; karena memang
hampir semua ulama sejak zaman dahulu pasti menjunjung tinggi hadits
Nabi. Salah; karena telah mempersempit pengertian dalil hanya pada
shahih tidaknya hadits saja.
Hanya saja sayangnya pernyataan itu sekarang sering kita temui dari
para awam agama, seolah ada model ushul fiqih baru; ushul fiqih cukup
hadits shahih.
Dalil secara bahasa artinya sesuatu yang mengantarkan kepada maksud tertentu (Abu Ya’la al-Farra’ w. 458 H, al-Uddah fi Ushul al-Fiqh, h. 1/131). Sedangkan dalam istilah syar’i, dalil adalah:
Segala sesuatu yang memungkinkan untuk mengantarkan kepada
sesuatu yang diinginkan yang bersifat khabari/ berita dengan analisis
yang benar. (Ibnu Muflih w. 763 H, Ushul al-Fiqh, h. 1/ 19, lihat pula: Muhammad bin Ali as-Syaukani w. 1250 H, Irsyad al-Fuhul, h. 1/ 22).
Artinya para ulama dari sejak zaman salaf tak pernah gegabah
menentukan sebuah hukum hanya bermodal kepada satu hadits shahih saja.
Karena hadits shahih saja belum cukup menjadi produk hukum kecuali
setelah melewati pemahaman yang shahih pula.
Selain pula, dalam pembahasan ushul fiqih, dalil yang disepakati
oleh semua ulama ada beberapa; seperti al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Adapun yang masih diperselisihkan diantaranya seperti Qaul Shahabi, Syariat sebelum Nabi Muhammad, Mashlahat Mursalah, Urf, dan juga istihsan. (Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620 H, Raudhatu an-Nadzir, h. 1/ 194).
2.Dalil untuk Orang Awam
Beberapa kali ada teman bertanya kepada saya tentang rute sebuah
alamat. Saya berikan peta plus saya gambarkan rutenya. Hanya saja ada
beberapa teman yang nyasar di jalan.
Masalah nyasar bisa jadi bukan karena alamatnya yang palsu, atau
karena peta atau rutenya yang keliru. Tersesat bisa jadi karena ketidak
cakapan seorang membaca peta atau memahami rute.
Maka jika memang masih awam dalam membaca peta, tak ada salahnya
jika bertanya kepada orang yang memang sudah tiap hari lewat jalan
tersebut. Atau malah nebeng orang lain yang sudah cukup hafal peta itu.
Begitu juga sebagai awam agama. Imam As-Syathibi (w. 790 H) dalam as-Muwafaqat menuliskan:
Fatwa-fatwa ulama mujtahidin bagi orang awam itu ibarat dalil syar’i bagi para mujtahid. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 336).
Hal itu cukup beralasan, kenapa? Karena dalil bagi orang yang awam
itu ya buat apa? Ibarat orang yang tidak cakap memasak bahkan malah
tidak punya alat memasak, untuk apa diberi bahan mentah.
Sebagaimana Imam Syathibi (w. 790 H) sampaikan, bahkan Imam
as-Syathibi melarang orang awam untuk ikut-ikutan menggali hukum
sendiri dari dalil:
Dasarnya adalah ada dan tidaknya dalil bagi orang awam itu
sebenarnya sama saja. Karena mereka belum bisa mengambil faedah dari
dalil-dalil itu. Menganalisis dalil-dalil syar’i bukanlah tugas mereka.
Bahkan tidak boleh sama sekali mereka melakukan itu. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi w. 790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337)
Imam as-Syathibi (w. 790 H) memang cukup keras dalam
melarang orang awam untuk ikut berijtihad sendiri. Dan memang seperti
itulah seharusnya.
3. Awamkah Kita?
Untuk menjawab hal itu, memang butuh kesadaran diri. Tak jarang ada
yang beranggapan bahwa kalo sudah ustadz berarti tidak awam, kalo sudah
lulus sarjana syariah berarti sudah lulus keawamannya.
Tidak serta merta seorang hafal al-Qur’an dan hadits lantas bukan
awam, apalagi hanya pernah belajar Bahasa Arab. Bukti paling nyata
adalah tidak semua Orang Arab yang sudah bisa Bahasa Arab sejak kecil
lantas bisa dan boleh menggali sendiri hukum dari al-Qur’an dan Hadits.
4. Hadits Bisa Jadi Menyesatkan
Mana mungkin Hadits Nabi yang shahih itu bisa menyesatkan? Bukan
haditsnya yang menyesatkan. Tetapi pemahaman yang belum tuntaslah yang
biasanya bisa membuat orang nyasar.
Ibnu Hajar al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H) menukil perkataan Ibnu Uyainah (w. 198 H):
Hadits itu bisa jadi menyesatkan kecuali fuqaha’. (Ibnu Hajar al-Haitami w. 974 H, al-Fatawa al-Haditsiah, h. 202). Kita akan lihat buktinya.
5. Hafal Banyak Hadits Belum Tentu Faqih
Syarat menjadi faqih adalah tahu banyak hadits beserta tahu cara
memahaminya. Hanya saja kadang orang yang hafal banyak hadits, tidak
tahu banyak terhadap kandungan hadits yang dihafalkan itu. Hal itu
sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam:
Banyak orang yang hanya disampaikan kepadanya suatu hadits, dan
dia lebih paham daripada orang yang mendengarkannya langsung. Banyak
yang menyampaikan fiqih tetapi tidak faqih/ faham. Dan banyak pembawa
fiqih, dia membawakannya kepada orang yang lebih faham darinya. (HR. Bukhari, h. 1/ 24, an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra, h. 5/ 365, Ibnu Majah dalam Sunan-nya, h. 1/ 159, Ahmad dalam Musnad-nya, h. 27/ 301)
Kesimpulan sederhana yang bisa kita ambil dari hadits ini adalah tak
semua penyampai hadits itu paham atas hadits yang mereka sampaikan.
6. Tidak Setiap Hadits Harus Diamalkan, Meskipun Shahih
Ibn Wahab (w. 197 H) salah seorang murid dari Imam Malik bin Anas (w. 179 H) pernah suatu ketika berkata:
Kalau saja saya (Ibnu Wahab) tidak bertemu dengan Imam Malik (w.
179 H) dan al-Laits bin Saad (w. 175 H), maka celakalah saya. Dahulu
saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus
diamalkan. (Jamaluddin Muhammad al-Mizzi as-Syafi’i w. 742 H, Tahdzib al-Kamal, h. 24/ 270, lihat pula: Ibnu Asakir w. 571 H, Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359)
Awalnya Ibnu Wahab (w. 197 H) menyangka bahwa semua yang datang dari
Nabi itu mesti diamalkan. Untungnya beliau bertemu dan berguru kepada
ulama sekelas Imam Malik bin Anas (w. 179 H) dan al-Laits bin Saad (w.
175 H).
Hal ini mirip-mirip yang terjadi akhir-akhir ini. Banyak yang
menyangka semua yang datang dari Nabi mesti diamalkan. Tidak
mengamalkan berarti menolak, menolak berarti menentang hadits Nabi.
Seharusnya mereka itu belajar kepada ulama sekelas Imam Malik bin Anas
(w. 179 H), bukan kepada syeikh Google atau syeikh radio.
Intinya, hadits yang shahih juga harus dibarengi dengan pemahaman
yang shahih oleh orang-orang yang ahli. Berikut contoh hadits yang
shahih hanya tidak diamalkan:
Contoh: Tidak diamalkan dhahir haditsnya saja
Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam bersabda:
Ketika kalian buang air besar, maka jangan menghadap kiblat atau membelakanginaya. Tetapi menghadaplah ke TIMUR atau ke BARAT. (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi melarang buang air menghadap atau membelakangi kiblat, tetapi
beliau menyuruh menghadap ke timur atau ke barat. Jika kita di
Indonesia, bukankah kiblatnya ke arah barat? Disinilah pemahaman
terhadap hadits harus tepat.
Contoh: Tidak diamalkan karena mansukh
Dalam sebuah Hadits shahih riwayat Imam Bukhari disebutkan:
Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah
yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar
mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan
shalat dan memcuci dzakarnya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 1/ 46).
Hadits shahih riwayat Imam Muslim juga menyebutkan:
إنما الماء من الماء
Air (wajib mandi) itu karena air (keluar mani). (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 1/ 269)
Dari kedua hadits yang shahih tadi, disimpulkan bahwa jika seseorang
berjima’ dengan istri tetapi tidak mengeluarkan mani maka cukup dengan
wudhu dan membasuh dzakar saja.
Meski kedua hadits shahih tadi masih tertulis di dalam kitab shahih
Bukhari dan Muslim, hanya saja para ulama tidak mengamalkan hadits
tersebut. Kenapa?
Hadits diatas di-nasakh dengan hadits muttafaq alaih juga, yaitu:
Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar. (Muttafaq alaih)
Contoh: Perbuatan Shahabat berbeda dengan Periwayatan
Ada hal menarik ketika membaca sejarah para shahabat Nabi. Beberapa
riwayat menyebutkan ada beberapa shahabat Nabi tidak mengamalkan hadits
yang mereka riwayatkan sendiri.
Sebut saja misalnya Aisyah Ummu al-Mu’minin radhiyaAllahu anha. Beliau suatu ketika pernah menikahkan anak perempuan dari saudaranya tanpa ijin walinya terlebih dahulu.
Padahal Aisyah sendiri meriwayatkan hadits tentang larangan menikahkan perempuan tanpa ijin wali. Hadits tersebut adalah:
Setiap wanita yang menikah tanpa ijin walinya, maka nikahnya batil. (HR. at-Timidzi, h. 2/ 398, Abu Daud, h. 2/ 229, al-Hakim dalam al-Mustadrak, h. 2/ 182 dengan sanad yang shahih).
Sedangkan Aisyah sendiri pernah menikahkan anak dari saudara
laki-lakinya; Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar dengan Mundzir
bin Zubair. Padahal Abdurrahman; saudara dari Aisyah dan wali bagi
Hafshah sedang berada di Syam.
Artinya Aisyah sebagai perawi hadits diatas malah dalam perbuatannya
menyelisih terhadap hadits yang beliau riwayatkan sendiri. (Abu Ja’far
at-Thahawi w. 321 H, Syarh Ma’ani al-Atsar, h. 3/ 18, lihat pula: Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852 H, Fath al-Bari, h. 9/ 186).
Contoh lainnya adalah hadits Abu Hurairah tentang banyaknya basuhan
sesuatu yang terkena jilatan anjing; Abu Hurairah meriwayatkan hadits
dibasuh 7 kali, sedangkan beliau sendiri melakukan basuhan 3 kali.
(Abdul Karim an-Namlah, Mukhalafat as-Shahabi lil Hadits an-Nabawi, h. 125).
Maka dalam hal seperti ini, hanya bermodal hadits sudah shahih saja
belum cukup menjadi dalil hukum. Bagaimana mungkin seorang shahabat
Nabi yang meriwayatkan sendiri hadits, malah dalam perbuatannya berbeda
dengan hadits yang diriwayatkan.
Maka, dalam kaitan kasus seperti ini para ulama ushul fiqih telah
membahasnya secara tuntas dalam bab "perbuatan rawi menyelisih
riwayatnya sendiri"; apakah mengikuti riwayatnya atau perbuatannya.
7. Ahli Hadits Tetapi Tidak Mengamalkan Hadits Nabi
Dalam contoh yang lebih nyata, para Ahli Hadits malah “tidak
mengamalkan” hadits Nabi yang mereka tuliskan dalam kitab-kitab mereka.
Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim dalam shahih-nya; Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam melarang menuliskan sesuatu apapun terkait beliau selain al-Qur’an.
Rasulullah shallaAllahu alaihi wasallam bersabda: Janganlah
kalian menulis tentang saya, siapa yang menuliskan sesuatu tentang saya
selain al-Qur’an maka hapuslah. Dan tidaklah mengapa, Sampaikanlah
hadits saya. (Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, h. 4/ 2298).
Larangan menulis sesuatu tentang Nabi ini malah tertulis dalam
kitab-kitab hadits para ulama ahli hadits. Artinya para ahli hadits
malah tidak mengindahkan larangan Nabi, padahal haditsnya shahih.
Inilah mengapa memahami hadits Nabi tidak hanya cukup bermodal
shahihnya saja. Hadits diatas dijelaskan dengan hadits khutbah Nabi
saat Fathu Makkah:
Tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah. (Muttafaq alaih)
Para ulama menyebutkan bahwa alasan tidak boleh menuliskan sesuatu
selain al-Qur’an saat itu adalah agar tidak bercampur dengan teks
al-Qur’an sesuatu yang bukan al-Qur’an.
8. Bicara Hadits Tetapi Hanya di Mulut Saja
Ada hadits yang cukup serius berbicara tentang orang-orang yang ngomongnya pakai hadits, tapi malah mendapat kritikan dari Nabi:
"Akan datang di akhir zaman, suatu kaum yang muda usianya, bodoh cara berpikirnya dan berbicara dengan sabda sebaik-baiknya Makhluq; Rasulullah.
Iman mereka tidak sampai melewati tenggorokannya Mereka keluar dari
Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tentu hadits ini umum, tak hanya menuding kelompok ini atau itu, tetapi lebih sebagai pengingat.
Anak muda, baik secara umur atau keilmuan yang punya cukup semangat
menebarkan hadits dan sunnah Nabi tentu sangat bagus. Tetapi bisa jadi
orang yang sedikit-sedikit membawa dalil hadits Nabi, belum tentu
benar-benar mewakili apa yang Nabi Muhammad syariatkan.
9. Cara Aman Agar Tak Tersesat
Contoh-contoh hadits shahih yang tidak diamalkan diatas sebenarnya
sudah tuntas dibahas oleh para ulama terdahulu. Ulama madzhab fiqih
yang empat, telah menuntun kita dengan membuat formulasi cara memahami
teks-teks dalil agama. Formulasi pemahaman teks agama itu disebut ilmu
ushul fiqih. Hal itu agar tak terjadi penyimpangan pemahaman terhadap
teks-teks agama.
Maka, hanya tahu satu hadits shahih saja belum cukup kecuali dipahami
dengan cara yang benar oleh orang-orang yang benar-benar benar. waAllahu a’lam bis shawab.
sumber: rumahfiqih
Like the Post? Do share with your Friends.