“Yang aku tahu, hanya Muhammad bin al-Hanafiyyah yang banyak menimba ilmu dari ‘Ali.” (Ibn al-Junaid)
Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan
saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah mengirim surat kepada
saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah memberikan kelebihan
kepadamu atas diriku...Ibumu Fathimah binti Muhammad ibn Abdullah SAW,
sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.” Kakekmu dari garis
ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya, sedangkan kakekku dari
garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku ini sampai kepadamu,
kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga engkau memiliki keutamaan
atas diriku dalam segala hal.”
Begitu surat itu sampai ke tangan al-Hasan...ia segera ke rumahnya
dan berdamai dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang
adib (ahli adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini?
Marilah, kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah SAW.
Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi SAW, maka ia
berkata, “Wahai Rasulullah...apa pendapatmu apabila aku dikaruniani
seorang anak setelah engkau meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan
namamu dan memberikan kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan
‘Abu fulan…’) dengan kunyah-mu?.”
“Ya” jawab beliau.
Kemudian hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia SAW
bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi Allah)...dan
setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda al-Hasan dan
al-Husain menyusul beliau (wafat).
Ali lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah
binti Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang
anak laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya
dengan kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah SAW. Hanya saja
orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah, untuk
membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan al-Husain, dua putra
Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam sejarah dengan nama
tersebut.
Muhammad ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq
(Abu Bakar) RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali
bin Abi Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya...mewarisi kekuatan dan
keberaniannya...menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia
menjadi pahlawan perang di medan pertempuran...singa mimbar di
perkumpulan manusia...seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila
kegelapan telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata
tertidur lelap.
Ayahnya RA telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran
yang tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan
al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah
keteguhannya.
Pada suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu
menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu
tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua
saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati
kedudukan dua mata ayahku...sedangkan aku menempati kedudukan dua
tangannya...sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua
tangannya.”
Dalam perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan
Muawiyah ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa
panji ayahnya.
Dan di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua
kelompok, terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia
menuturkan, “Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami
bertemu dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku
menyangka bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari
mereka. Aku menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang
berteriak di belakangku, “Wahai kaum Muslimin...(takutlah kepada) Allah,
(takutlah kepada Allah)...wahai kaum Muslimin...
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?...
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?...
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*...
Wahai kaum Muslimin...takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali RA mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka,
Muhammad ibn al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam
keadaan suka maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan
suara dan mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam
dan Muslimin.
Muawiyah RA merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa
benar-benar tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya
mengundang Muhammad ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali...dan lebih dari satu sebab.
Di antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia
mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan
raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang
lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki...sebagin mereka saling
berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada
di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk
mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di
antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang
darinya berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat
pohon besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh.
Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan
kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar
menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di
kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan
kuatnya?.”
Muawiyah lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang
berbadan tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih
darinya...ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku
membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja
keduanya jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan
Abdullah ibn az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran
kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan
orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih
banyak dari itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan
sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada
al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun
memakainya...maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya
sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya,
“Katakan kepada orang Romawi ini...apabila ia mau, ia duduk dan aku
berdiri, lalu ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan
mendirikannya atau dia yang mendudukkanku...Dan bila ia mau, dia yang
berdiri dan aku yang duduk...”
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri...dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk...
Kesombongan pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri
dan Muhammad duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya
dengan satu hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari
pundaknya...dan mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi...
Muawiyah dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah
berpindah ke rahmatullah...Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada
Abdul Malik ibn Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin
dan penduduk Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya
untuk membaiatnya...dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling
berhak dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin
pun terpecah lagi...
Di sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn
al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah
membaiatnya.
Hanya saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan
menjadikan hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di
antaranya adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi
orang-orang yang menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah
orang-orang muslim yang telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak
ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari
kedua pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil
dari belakangnya, “Wahai kaum Muslimin...(takutlah kepada) Allah,
(takutlah kepada) Allah...wahai kaum Muslimin...
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?...
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?... Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka, ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau
mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak
memiliki tujuan dan tidak pula permintaan...hanyalah aku ini seseorang
dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu
atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka
berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu...juga tidak
membaiatnya.”
Mulailah Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam
satu kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya
dan bersikap keras kepadanya.
Hanya saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga
banyak orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti
pendapatnya. Dan mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya,
hingga jumlah mereka sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang
memilih untuk memisahkan diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk
menjadikan diri mereka kayu bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya,
bertambahlah kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya
untuk membaiatnya.
Ketika Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan
orang-orang yang bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk
menetap di Syi’b (celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia
menempatkan mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh
kalian harus membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan
api...
Kemudian ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu
bakar untuk mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga
sampai ujung tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala
niscaya akan membakar semuanya.
Di saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah
berdiri kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan
menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan
tangan-tangan kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan
diri)...dan kita membunuh seorang sahabat Rasulullah SAW dan anak-anak
dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan sedikitpun
apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan
para pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga
Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan
mereka condong kepadanya.
Ia lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya
ia menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak
akan sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku
bahwa Ibn az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang
bersamamu...ia memutus tali persaudaraanmu...dan merendahkan hakmu. Ini
negeri Syam terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang
bersamamu dengan penuh kelapangan dan keluasan...singgahlah di sana
dimana engkau mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan
selamat kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu...dan engkau akan
mendapatkan kami orang-orang yang memahami hakmu...menghormati
keutamaanmu...dan menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah...
Muhammad ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan
menuju negeri Syam...sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya,
karena apa yang mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan
kejujuran zuhudnya.
Ia mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari
yang munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan
mengadakan ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang
pun dari manusia mendzalimi orang lain.
Di saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal
tersebut memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan
orang-orang terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak
berpendapat agar engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu.
Sedangkan sirahnya sebagaimana yang engkau ketahui...entah ia
membaiatmu...atau ia kembali ke tempatnya semula.”
Maka, Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya
engkau telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu
ujungnya. Dan ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn
az-Zubair. Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di
antara kaum Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di
negeriku kecuali bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku
akan memberimu seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom”
kemarin, ambillah beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau
berhak atas satu juta dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan
sendiri untuk dirimu, anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan
orang-orang yang bersamamu. Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku
ke tempat yang aku tidak memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad
ibn Ali, kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika...Sesungguhnya
aku memuji kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain
Dia, (aku berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du...Barangkali engkau
menjadi ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang
paham terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di
Mekkah, maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya,
dan tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku.
Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di
negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di
karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu.
Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan
kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya
meninggalkan negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia
pun di usir darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah
berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar
pengaruhnya dan lebih berat tekanannya...
Yang demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan
orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan
orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW
telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya banyak sekali
rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan perbendaharaan syariat.
Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa yang orang lain tidak
mengetahuinya.”
Orang yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang
diusung oleh ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang
mungkin diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia
dan berdiri mengkhutbahi mereka...ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya
dan bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad SAW...kemudian berkata, “Sebagian
orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait mempunyai ilmu yang
Rasulullah SAW mengkhususkan kami dengannya, dan tidak memberitahukan
kepada siapapun selain kami. Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi
dari Rasulullah melainkan apa yang ada di antara dua lembaran ini, (dan
ia menunjuk ke arah mushaf). Dan sesungguhnya barangsiapa yang
beranggapan bahwa kami mempunyai sesuatu yang kami baca selain kitab
Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada
kebaikan...dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya
Allah...akan tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam
kepadaku, maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia
berkata, “Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah
tentang tempat yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang
bersamanya...Allah telah berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf
ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn az-Zubair...dan agar manusia
seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.
Maka, tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul
Malik, ia berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari
Muhammad ibn Ali. Amma ba’du...Sesungguhnya setelah aku melihat perkara
ini kembali kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang
dari mereka. Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan
baiatku ini secara tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya,
mereka berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca:
keluar dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya
ia mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan
atasnya...Maka tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta
perjanjian Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan
para sahabatnya.”
Abdul Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja
Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah
memilihnya untuk berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di
kuburnya, dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga...ia termasuk
orang yang tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di
antara manusia.
CATATAN KAKI:
* Ad-Dailami adalah masyarakat besar yang berada di utara Qazwain, muslimin memerangi mereka kemudian mereka memeluk Islam
** Al-‘Ilj adalah orang yang kuat dan besar dari orang-orang kafir non Arab
*** Ia adalah putra Asma binti ash-Shiddiq yamg berhasil menaklukkan kawasan Afrika
SUMBER BACAAN:
Sebagai tambahan tentang kisah Muhammad Ibn al-Hanafiyyah, lihat:
- Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174
- Tahdziib at-Tahdziib, IX:354
- Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79
- Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91
- Al-Waafi bi al-Wafayaat (terjemah): 1583
- Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169
- Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H
- Syadzarat adz-Dzahab, I:89
- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89
- Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76
- Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123
- Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V dan VII
sumber: alsofwah
ilustrasi: google
Like the Post? Do share with your Friends.