Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Segala amal seseorang dikendalikan oleh ideologinya. Beda ideologi
akan merambah pada perbedaan praktek ibadah, akhlak, dan bahkan
muamalah. Ketika kita membandingkan antara praktek ibadah syiah dan
praktek ibadah yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita
akan mendapatkan sekian banyak perbedaan. Demikian pula akhlak dan
muamalah antara syiah dengan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Pada bagian ini, kita akan menyoroti perbedaan praktek puasa syiah dengan puasa yang diajarkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, bulan ramadhan bukan bulan istimewa
Bagi syiah, ramadhan bukan bulan istimewa bagi syiah untuk beribadah.
Suasana semarak ibadah di bulan ramadhan, tidak seramai suasana ketika
Muharram atau Sya’ban. Seolah syiah hendak mengumumkan ke penjuru alam,
bulan Ramadhan adalah bulan khusus untuk ahlus sunnah dan tidak ada yang
istimewa bagi kami.
Ramadhan memang bulan untuk puasa, namun bulan untuk rajin ibadah, menurut syiah.
Bagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ramadhan adalah bulan istimewa. Dan seperti itu pula yang dilakukan kaum muslimin. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih rajin mendekatkan diri kepada Allah di bulan ramadhan.
Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu menuturkan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَجْوَدَ النَّاسِ، وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ، حِينَ يَلْقَاهُ
جِبْرِيلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ
لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، فَيُدَارِسُهُ القُرْآن
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling
pemurah. Lebih pemurah lagi pada saat bulan ramadhan. Ketika Jibril
menemui beliau. Jibril menemui beliau setiap malam di bulan ramadhan,
dan mengajari beliau Al-Quran. (HR. Bukhari 3554)
Terutama ketika masuk 10 hari terakhir ramadhan, ibadah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih meninggat. A’isyah menuturkan,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ
وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk
sepuluh terakhir ramadhan, beliau menghidupkan malamnya dengan ibadah,
beliau membangunkan para istrinya, bersungguh-sungguh ibadah dan
mengencangkan ikatan sarungnya. (HR. Muslim 1174).
Kedua, wajib berbuka ketika safar
Bagi syiah, orang yang melakukan safar, puasanya batal. Artinya, dia
wajib berbuka. Lebih ajaib lagi, hanya dengan melintasi jembatan yang
memisahkan dua daerah, sudah dianggap safar dan wajib berbuka.
Kesaksian Dr. Thaha Ad-Dailami dalam buku beliau Siyahah fi ‘Alam Tasyayyu’ (Perjalanan di Negeri Syiah), menurut beliau,
Orang syiah
terlau menganggap mudah dalam memberikan udzur berbuka. Mereka
mewajibkan berbuka untuk setiap safar dengan jarak paling dekat. Sebagai
contoh, ada siswa yang hendak menjalani masa ujian. Tokoh mereka
memfatwakan agar siswa ini melakukan safar dekat setiap hari ke derah
yang dekat, jarak perjalanan pulang pergi ditotal menjadi jarak safar.
Kemudian dia boleh tidak puasa.
Yang lebih menyedihkan, mereka tidak memastikan apakah itu harus diqadha ataukah gugur kewajiban.
Sementara Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah mewajibkan orang yang safar untuk berbuka puasa. Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya, tentang hukum puasa ramadhan ketika
safar. Jawab Anas:
سَافَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ،
وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Kami pernah safar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang tidak puasa dan
yang tidak puasa juga tidak mencela yang puasa.” (HR. Muslim 1118).
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan,
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ
“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada diantara kami yang puasa dan ada yang tidak puasa.” (HR. Muslim 1119).
Dan masih sangat banyak riwayat yang menyebutkan puasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar.
Ketiga, tarawih adalah bid’ah
Bagi orang syiah, tarawih adalah bid’ah. Mereka menganggap tarawih tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurut mereka, tarawih adalah ajaran Umar bin Khatab
radhiyallahu ‘anhu.
Karena kebencian mereka kepada Umar, mereka menolak sunah shalat
tarawih ini mentah-mentah. Dan mencap sesat kaum muslimin yang
melaksanakan tarawih. Bahkan mereka menyebut, orang yang melakukan
tarawih sama halnya menjadikan Umar sebagai nabi. Subhaanallah, ini
adalah tuduhan dusta mereka. Keterangan selengkapnya bisa anda pelajari
di:
Shalat Tarawih Menurut Syiah.
Keempat, berbuka setelah awan merah menghilang
Salah satu kebiasaan Syiah adalah berbuka setelah betul-betul masuk
waktu malam. Di saat awan merah di ufuk telah menghilang dan bintang
mulai terbit.
Dalam kitab Wasail As-Syi’ah karya Muhammad bin Al-Hasan Al-Hur Al-Amili, dinyatakan,
باب ان وقت الافطار هو ذهاب الحمرة المشرقية فلا يجوز قبله
Bab: waktu berbuka adalah sampai hilangnya mega merah di ufuk timur, dan tidak boleh sebelumnya.
Di bawah judul bab ini, selanjutnya dia membawakan beberapa riwayat dusta atas nama Ahlul Bait, diantaranya:
عن زرارة قال : سألت أبا جعفر عليه السلام عن وقت إفطار الصائم؟ قال : حين يبدو ثلاثة أنجم
Dari Zurarah, saya pernah bertanya kepada Abu Ja’far – alaihis salam –
tentang waktu berbuka bagi orang yang puasa? Beliau menjawab: ‘Ketika
telah terbit 3 bintang.’
Abu Ja’far : cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bergelar
Al-Baqir. Salah satu ulama ahlus sunah yang dikultuskan Syiah. Dan satu
kedustaan, beliau memfatwakan demikian.
Al-Hur Al-Amili memberi komentar,
هذا محمول على من خفي عليه المشرق فلم يعلم ذهاب الحمرة
إلا بظهور النجوم كما مر في مواقيت الصلوات ، أو على استحباب تقديم الصلوات
على الافطار وحينئذ تبدو ثلاثة أنجم ، ذكره بعض المتأخرين
Ini dipahami bahwa orang yang tidak mengetahui arah timur, sehingga
dia tidak tahu hilangnya awan merah kecuali setelah terbit bintang,
sebagaimana penjelasan dalam waktu-waktu shalat atau dianjurkan untuk
mendahulukan shalat (maghrib) dari pada berbuka. Sehingga setelah itu
terbit 3 bintang. Demikian yang dijelaskan ulama mutaakhirin (Syiah).
[Wasail As-Syiah, hlm. 124 – 125]
Keterangan ini yang selanjutnya dipraktekkan masyarakat penganut
agama Syiah di masa ini. Termasuk komunitas Syiah di indonesia.
Sebagaimana pengakuan beberapa orang yang pernah mengikuti kegiatan buka
bersama yang diadakan kelompok Syiah indonesia.
Jika kita perhatikan, apa yang dipraktekkan oleh Syiah dalam
kebiasaan berbuka ini, sama persis sebagaimana kebiasaan orang yahudi
dan nasrani. Dalam hadis dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam)
menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu
berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya
hadia hasan).
Dalam riwayat lain, itu disebabkan orang yahudi suka mengakhirkan waktu maghrib sampai terbit bintang. Karena itulah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sengaja menunda shalat maghrib hingga terbit bintang,
لَا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الْفِطْرَةِ، مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُومُ
“Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah, selama tidak menunda
waktu maghrib sampai bintang-bintang mulai terbit.” (HR. Ahmad 15717,
Ibn Majah 689, dan statusnya Hasan).
Kebiasaan berbuka puasa orang Syiah ini berbeda dengan apa yang diajarkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau menganjurkan kepada umat Islam untuk menyegerahkan berbuka.
Segera berbuka sejak bulatan matahari sudah tenggelam, meskipun awan
merah masih merekah di ufuk barat.
Dari Sahl bin Sa’d
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.”
Sahabat Sahl mengatakan,
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika puasa, beliau
pernah menyuruh seseorang. Ketika orang ini mengatakan, ‘Matahari telah
tenggelam’ maka beliaupun langsung berbuka.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam
Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuka pada saat awan merah di langit masih sangat cerah, hingga sebagian sahabat menyebutnya masih siang.
Dari Abdullah bin Abi Aufa
radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَلَمَّا غَابَتِ الشَّمْسُ
قَالَ: «يَا فُلَانُ، انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا، قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ:
فَنَزَلَ فَجَدَحَ، فَأَتَاهُ بِهِ، فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
di bulan Ramadhan, dan saat itu beliau puasa. Ketika matahari sudah
terbenam, beliau memanggil sahabat yang di atas kendaraan, ‘Wahai Fulan,
turun, kita buat minuman.’ Sahabat ini menjawab, ‘Wahai Rasulullah,
sekarang masih siang.’ Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
menyuruhnya, ‘Turun, kita siapkan minuman.’ Orang inipun turun, kemduian
menyiapkan minuman dari sawiq dan dihidangkan untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaupun meminumnya. (HR. Bukhari 1956 & Muslim 1101).
Dari keterangan sahabat yang disuruh turun: ‘Wahai Rasulullah,
sekarang masih siang’ karena dia melihat suasana langit yang masih
terang merah setelah bulatan matahari terbenam. Sehingga dia menyangka
belum boleh berbuka.
Ketika menjelaskan hadis di atas, Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
في الحديث استحباب تعجيل الفطر ، وأنه لا يجب إمساك جزء من الليل مطلقا ، بل متى تحقق غروب الشمس حل الفطر
Hadis ini menunjukkan dianjurkannya menyegerahkan berbuka, dan tidak
wajib melanjutkan puasa hingga betul-betul malam. Akan tetapi, jika
sudah yakin matahari telah terbenam, halal untuk berbuka. (Fathul Bari,
4/197).
Celaan Imam An-Nawawi untuk Syiah
Dalam karyanya, Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi mengatakan,
المغرب تُعَجَّل عقب غروب الشمس ، وهذا مجمع عليه ، وقد حُكِيَ عن الشيعة فيه شيء لا التفات إليه ، ولا أصل له
“Waktu maghrib segara setelah terbenamnya bulatan matahari. Inilah
yang disepakati umat Islam. Dikisahkan dari orang Syiah yang berbeda
dengan ini, tidak perlu digubris dan itu tidak berdasar.” (Syarh Shahih
Muslim, 5/136).
Kelima, hubungan intim ketika puasa
Yang tidak akan pernah ketinggalan ketika membahas Syiah, masalah
ranjang dan kemaluan. Untuk menemukan fatwa unik mereka tentang itu,
sangat mudah dan sangat banyak. Dari mulai nikah mut’ah, mengawini
binatang, homo, hingga menjadikan istri orang sebagai gundik mut’ah.
Jika anda membaca fatwa tokoh-tokoh mereka tentang masalah seks, anda
mungkin akan berkesimpulan, sebagian besar penduduk iran adalah anak
zina. Saking merebaknya zina legal (mut’ah) di iran.
Tak terkecuali seks ketika Ramadhan. Mereka memberi kelonggaran
sangat luas bagi umat Syiah untuk memuaskan dirinya dengan mukadimah
hubungan. Boleh secara sengaja melakukan pemanasan, selama tidak sengaja
melakukan hubungan.
Dalam kitab Minhaj As-Shalihin, karya Al-Khou’i, dia menjelaskan,
لا يبطل الصوم اذا قصد التفخيذ فدخل في أحد الفرجين من دون
قصد . ولو قصد الجماع وشك في الدخول او بلوغ مقدار الحشفة بطل صومه ولكن
لم تجب الكفارة عليه
Tidak batal puasa seseorang yang melakukan petting, kemudian secara
tidak sengaja zakar masuk ke salah satu lubang (qubul atau dubur). Jika
sengaja jimak, namun ragu apakah tadi sudah masuk semua atau ragu
berapa yang sudah masuk dari hasyafah, maka puasanya batal, namun dia
tidak wajib membayar kaffarah. (Minhaj As-Shalihin, 1/263).
Subhanallah…
Dimanakan rasa malu mereka terhadap kehormatan bulan Ramadhan.
Sementara Allah dan rasul-Nya menyebut orang yang puasa sebagai orang
yang meninggalkan syahwat untuk Allah.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan
membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya
karena-Ku.” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang orang yang puasa untuk melakukan rafats, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ
“Puasa adalah tameng, karena itu, janganlah dia melakukan rafats dan
bertindak bodoh…” (HR. Bukhari 1894, Muslim 1151, dan yang lainnya).
Yang dimaksud rafats adalah melakukan hubungan badan dan mukadimahnya.
referensi: konsultasisyariah.com
Like the Post? Do share with your Friends.